CERPEN 

Kabar Kematian Seorang Pujangga

Cerpen Hafis Azhari ______________________________________________________________________

 

Saya sedang membaca buku ketika siaran televisi menayangkan kematian sastrawan yang saya kagumi begitu lama. Seketika saya mengamit ponsel dari atas meja, ingin menelepon seseorang. Tapi, siapa yang harus saya hubungi? Kalau saya menghubungi Fatia, mantan kekasih saya, yang juga sangat mengagumi sastrawan tersebut, lalu apa yang mesti saya katakan? Lagipula, apakah saya masih punya nomor ponsel Fatia?

Tiga tahun lalu, setelah saya mendengar kabar dirinya memiliki momongan, kami tak lagi saling menelepon. Saya sendiri tidak tahu kabar terakhir mengenai Fatia, anaknya, atau suaminya yang anggota DPRD tersebut. Tapi, soal kematian sastrawan terkemuka itu, saya percaya dia pasti mengikuti beritanya.

Saya baca berkali-kali novel terakhir yang dia tulis beberapa tahun lalu, yang diberi judul panjang, Sesuatu yang Membuat Mereka Bersatu. Bagi saya, karya-karyanya mengandung daya magis yang sulit terbantahkan. Ketika saya membacanya, selalu saja menangkap adanya sinyal atau pertanda yang berhubungan erat dengan perjalanan hidup yang saya alami, dalam konteks saat ini, di negeri ini. Penilaian itu disepakati juga oleh Fatia yang lebih dulu mengenal karya-karyanya. Hubungan dekat saya dengan Fatia, justru ketika dipinjamkan novel karyanya yang kedua, yang diberi judul Sepenggal Kisah tentang Cinta.

Dulu, kami sering duduk bersebelahan di kelas sastra Indonesia di kampus UGM, membahas karya-karya sang sastrawan. Kami sering memilih tempat duduk di pojokan, berdebat mengenai pesan moral dari karya terbarunya, justru pada saat dosen menyampaikan materi yang sering diajarkannya secara monolog. Fatia pernah tidak sepakat pada ending novelnya yang kelima, setebal 240 halaman. Baginya, novel yang diberi judul Perempuan Perkasa itu justru dimaksudkan untuk menafikan peran perempuan daripada motif yang ingin disampaikannya. Bagaimana penerbit bisa menerima suatu karya yang secara politis mendiskreditkan peran wanita, sementara novel tersebut dengan sengaja diberi judul sebaliknya.

“Saya kira tidak ada penerbit yang berani menolak karya-karyanya,” kata saya memulai perdebatan.

“Tapi mereka harus cermat memerhatikan keterhubungan antara judul dengan pesan moral yang terkandung dari karya tulis,” ujar Fatia ngotot.

“Sah-sah saja kita bicara idealisme dalam soal ini. Tetapi, penerbit mana yang akan menolak karya sastra yang terjual ratusan ribu eksemplar dalam hitungan hari? Bahkan, karya dia yang kedua langsung masuk dalam jajaran best seller hanya dalam beberapa hari muncul di pasaran.”

Fatia merasa jengkel, dan berjanji tak mau lagi membaca karya-karyanya. Tetapi, setelah karya keenamnya muncul dan banyak dicari-cari orang, ia pun ikut mencarinya juga. Bahkan, ia mengatakan dirinya tergila-gila pada novel berjudul Sahabat Lama tersebut.

***

“Hmm, rupanya sastrawan itu kalah juga oleh makhluk sekecil partikel yang bernama Tuberkulosis,” gumam saya pada diri sendiri. Saya membaca ihwal kematiannya di televisi dan media daring. Ada kabar burung yang menyatakan dia meninggal karena Covid-19, tapi saya lebih cenderung pada pendapat dokter ahli yang menanganinya, bahwa sastrawan itu meninggal karena penyakit TBC yang dideritanya selama beberapa tahun terakhir. Ia sempat menjalani perawatan selama beberapa bulan di rumah sakit. Karya-karya sastranya telah dibaca oleh jutaan orang, dan para penggemarnya mesti sedang mengikuti kabar kematiannya, serta membicarakan karya-karyanya.

Saya sudah membaca semua yang ditulisnya sewaktu masih kuliah di UGM. Dalam beberapa forum diskusi di kampus, saya juga sempat menjadi pembicara untuk acara bedah bukunya yang digelar para mahasiswa semester akhir. Bagaimanapun, dia itu tipikal penulis yang digemari kaum muda Indonesia, termasuk para penulis dan sastrawan muda tentunya.

Saya membiarkan salah satu siaran teve yang secara intensif menyiarkan berita kematiannya. Sambil berbaring di tempat tidur, saya membayangkan masa-masa kuliah dulu, mengingat cuplikan-cuplikan kejadian dan pengalaman masalalu bersama Fatia, sesuatu yang telah lewat seakan tak dapat diraih kembali.

Ketika kami lulus dan Fatia mendapat predikat terbaik (Cum Laude), saya mencoba menjaga jarak dan membiarkan ia pulang ke Bandung, untuk mengikuti petuah-petuah keluarga dan leluhurnya sebagai warga Pasundan. Saya sempat terpukul ketika beberapa bulan setelah kelulusan, ia memberi kabar bahwa ayahnya tak bisa menolak permintaan atasannya di perusahaan untuk menikahkan Fatia dengan salah seorang puteranya yang mencalonkan diri selaku anggota dewan.

Saya tak bisa berbuat apa-apa. Lagipula, apa yang bisa dibanggakan dari seorang sarjana sastra seperti saya, jika harus bersaing dengan anak pengusaha besar dan calon anggota dewan. Pada awalnya Fatia menyangsikan kenyataan itu, tapi saya memberinya nasihat agar ia berpikir realistis, dan tak usah membantah kemauan ayahnya. Seminggu kemudian, meskipun saya mencoba untuk bersikap sok demokratis, tetap saja perasaan ini tak bisa dipungkiri bahwa saya merasa shock berat ketika Fatia akhirnya memutuskan melangsungkan pernikahan dalam tempo satu bulan ke depan.

Usianya sekitar 24 tahun, hanya selisih satu tahun di bawah saya. Sedangkan suaminya sudah menginjak 30 tahun ke atas. Saya mengucapkan selamat beberapa hari sebelum acara pernikahan, meskipun suaranya canggung dan terbata-bata ketika ia menyuruh saya datang ke Bandung pada acara resepsi pernikahan. Untuk menjaga perasaannya – tentu perasaan saya juga – sengaja saya mengurungkan niat untuk hadir.

Anda bisa bayangkan, bagaimana seorang kekasih menghadiri acara pernikahan mantan kekasihnya, yang bertahun-tahun berpacaran di kampus, pergi ke kantin, perpustakaan, gedung kesenian, menonton di bioskop twenty one, terlebih membahas dan mendiskusikan karya sastra Bumi Manusia, Burungburung Manyar, Matias Akankari, Olenka, termasuk karya-karya para peraih nobel di bidang kesusastraan. Terlebih lagi, novel favorit yang kini penulisnya bukan lagi mengalami writer’s block tetapi sudah terbujur kaku, tak lagi mampu menggoreskan pena dan kata-kata.

***

“Terimakasih, saya suka sekali novel ini. Saya sudah membacanya berkali-kali.”

Masih ingat kala itu di ruang perpustakaan kampus UGM, ketika saya mengembalikan novel yang dipinjamkan Fatia. Seketika kami membahas isi kandungannya, lalu saya meminta pendapatnya dari sudut pandang wanita Indonesia, bagaimana hubungan tokoh kedua sejoli itu, yang sudah bertahun-tahun berpisah tetapi akhirnya mereka saling berjumpa, justru di tengah semaraknya demonstrasi yang melahirkan era reformasi Indonesia.

“Bukankah itu mengambil kesempatan dalam kesempitan. Bisa juga dikatakan memancing di air keruh?” tanya saya pada Fatia.

“Saya kira tidak,” sanggahnya kemudian.

“Tapi, bukankah pesan moral dari novel itu menunjukkan sikap seseorang yang bersenang-senang di atas penderitaan orang lain?”

Fatia terdiam sejenak, dan katanya tegas, “Tapi bukankah realitas kehidupan ini seperti apa adanya. Ada yang melahirkan, sementara tetangga di sebelahnya meninggal karena Covid-19. Ada anak yang menangis, sementara anak lainnya sedang tertawa gembira dengan mainan barunya. Ada seniman yang merana dan menderita, sementara yang lainnya ketiban rezeki nomplok, terjual jutaan eksemplar hanya dengan karya-karya kacangan. Seperti itulah kehidupan dunia ini.”

“Sepertinya kita memasuki pembahasan soal keadilan Tuhan nih?” canda saya.

“Mungkin saja. Tapi dari sudut pandang lain, kita bisa memahami bahwa hal tersebut soal giliran saja. Adakalanya kita di atas adakalanya di bawah, suka dan duka, sehat dan sakit, lapang dan sempit… itulah fenomena kehidupan ini…”

“Apakah soal lapang dan sempit identik dengan rezeki atau uang?”

“Kalau identik dengan rezeki iya, tapi kalau perkara uang, itu tidak selalu.”

“Berarti rezeki tidak identik dengan uang?”

“Ya, benar.”

“Berarti, hidup lapang itu identik dengan rezeki juga?”

“Ya, tepat sekali. Tapi pada prinsipnya, persoalan lapang atau sempit, suka atau duka, semuanya bergantung dari cara kita menyikapinya. Apakah kita sanggup bersabar di kala sempit, dan apakah kita mampu bersyukur di kala lapang.”

“Berarti sabar dan syukur itu adalah kunci utamanya.”

“Ya,” Fatia mengangguk mantap.

Kami pun membahas bersama tentang pesan moral (moral message) yang terkandung dari karya keempat mendiang sastrawan. Bahwa kelapangan hidup tak ubahnya dengan keberkahan yang dianugerahkan Tuhan dalam hidup ini. Fatia juga tidak menampik bahwa uang adalah jalan untuk mencapai kebahagiaan, tetapi uang hanyalah alat dan salah satu sarana saja. Ia bukanlah satu-satunya alat untuk meraih kebahagiaan. Justru dengan keberadaan uang, jika salah dalam mengelolanya, akan membawa malapetaka dalam kehidupan umat manusia. Berapa banyak manusia saling bertikai dan bersengketa karena faktor uang dan kekayaan, baik secara mikro maupun global. Baik di tingkat rumah-tangga maupun negara bangsa.

Betapa uang dapat menggerogoti dan merusak sendi-sendi kehidupan bernegara, jika pemerintah bersikap tidak adil dan salah dalam mengelolanya. Begitupun halnya dengan sendi-sendi kehidupan dalam berumah-tangga.

***

Kini, sudah lebih dari lima tahun saya tidak berjumpa dengan Fatia. Terakhir, ia mengabarkan sudah punya anak perempuan berusia dua tahun, hanya melalui telepon. Setelah itu, sehubungan adanya kontak dengan sahabat baru, termasuk teman-teman di kantor, dan beberapa kali saya pernah kehilangan ponsel dan kartu telepon, saya sudah tidak lagi memegang nomornya.

Sekarang, saya menyibukkan diri dengan aktivitas di kantor redaksi majalah mingguan, mengedit karya-karya tulis yang masuk, merapatkan bersama dewan redaksi untuk evaluasi penerbitan, serta rencana penerbitan majalah berikutnya. Di antara semua pekerjaan itu, saya sangat menyukai proses editing untuk karya-karya sastra, menyeleksi karya-karya yang layak terbit untuk edisi berikutnya.

Dan untuk urusan yang terakhir ini, saya bisa berbangga diri bahwa selama pergaulan dengan karya-karya terbaik, ditambah pergelutan dengan karya sastra dunia selama di kampus UGM, saya cukup cermat dalam mengelola pekerjaan saya. Bahkan, pekerjaan kantor yang harus diselesaikan dalam lima-enam hari, dapat selesai dengan cermat hanya dalam tempo dua hingga tiga hari saja.

Akhirnya, saya pun menyempatkan diri untuk hadir pada acara pemakaman sang sastrawan yang rencananya akan dilaksanakan sore hari di daerah Bogor, Jawa Barat. Ketika saya tiba di tempat tujuan, rencana untuk pemakaman sudah dipersiapkan dengan matang. Ratusan penggemar turut memberi penghormatan terakhir, sambil mengenakan masker-masker yang menutupi mulut dan hidung mereka. Mereka berdiri dengan tenang, menampakkan raut empati dan rasa berduka.

Saudara-kerabat nampak berdiri di ambang kuburan dengan penuh khidmat. Ketika mayat diturunkan, janda mendiang meratap dengan isak tangis yang tak tertahankan. Ratapan wanita itu semakin menjadi-jadi, disertai sorotan-sorotan kamera dari berbagai media luring, daring, dan media elektronik. Beberapa kerabatnya menenangkan, seraya menuntunnya agar duduk di kursi bersama kedua anak mendiang yang kini sudah beranjak dewasa.

Dengan amat pilu dan sedih, seorang ustaz membacakan doa bagi mendiang. Suaranya yang muram bercampur dengan isakan, nampak sangat mendukung untuk membangun dan memertahankan suasana, hingga terdengar sayup-sayup bagai suara laut yang bergolak. Sore yang mendung menjadi semakin gelap, seiring ucapan salawat dan doa-doa sang ustaz. Tirai membentang di langit dan beberapa tetes hujan mulai berjatuhan. Nampaknya segenap alam turut berduka atas kematian sang sastrawan.

Ada puluhan kursi yang disediakan di sekitar pekuburan. Ketika saya melihat dengan penuh empati ke arah keluarga mendiang, tiba-tiba saya dikejutkan dengan keberadaan seorang wanita yang mengenakan kerudung hitam berenda-renda, sedang duduk di barisan kursi ketiga di belakang keluarga mendiang.

Ia begitu cantik dan anggun. Saya melangkah pelan-pelan untuk memastikannya. Ternyata benar saja, dia adalah Fatia! Semula saya terperanjat kaget. Tapi, seketika mengendalikan diri setelah menyadari bahwa, bagaimanapun, Fatia adalah salah seorang pengagum setia yang telah melahap karya-karya mendiang sejak masa kuliah, bahkan pernah menganggapnya selaku guru sucinya. Selepas acara prosesi pemakaman, saya mengajaknya menjauh dari pekuburan, dan ternyata dia senang sekali ketika saya menawarinya makan baso di salah satu warung yang tak jauh dari tempat itu.

Sambil menunggu pelayan yang sedang sibuk menyiapkan hidangan, saya pun tersenyum dan menatapnya erat-erat, kemudian membuka percakapan, “Berani sekali kamu datang ke tempat pemakaman sendirian?” ujar saya.

“Habis dengan siapa lagi?”

Saya terperanjat mendengar jawaban itu, “Lho? Suamimu ke mana?”

“Sudah setahun lalu kami udahan.”

“Kenapa Fatia?” tanya saya terbengong-bengong.

Ia menghela napas dalam-dalam, dan katanya pelan, “Suami saya orang yang ringan tangan,” ia menggulung lengan bajunya, lalu menunjukkan dua titik bekas luka di sekitar lengan tangannya, “Ini bekas sundutan rokok,” katanya lagi.

“Apa iya, Fatia?” saya terperangah, “Saya kira suamimu bukan seorang perokok?”

“Dia menjadi perokok berat setelah dua tahun lalu bapaknya terkena kasus OTT oleh KPK.”

“Ya, saya dengar kasus itu. Tapi kan, yang terkena OTT itu cuma bapaknya? Lalu, apa hubungannya dengan suamimu?”

“Bukankah salah satu tokoh dalam novel mendiang, pernah menyatakan bahwa buah mangga jatuh tidak akan jauh dari pohonnya? Rupanya masyarakat di sana bereaksi juga, bahwa dana kampanye yang mengantarkan anaknya sebagai anggota dewan, adalah hasil dari korupsi bapaknya juga.”

“Tapi, apakah itu terbukti? Saya kurang begitu yakin,” kata saya.

Fatia diam membisu, kemudian ia melontarkan komentar yang sulit untuk saya tepis, “Oke, katakanlah dia tak terbukti korupsi. Tapi sikap temperamen dia sebagai politisi angkuh yang telah melukai saya secara fisik, dan telah dibuktikan secara medis, adalah fakta yang tak terbantahkan.”

Kini, giliran saya yang terdiam membisu. Hidangan baso dan teh botol kami santap secara perlahan-lahan. Ia menanyakan posisi saya saat ini, seraya memprotes kenapa saya tidak menghubunginya ketika berencana menghadiri pemakaman sastrawan yang merupakan pujangga pujaan hatinya. Saya menjawab dengan penuh penyesalan mengenai nomor ponselnya yang telah hilang beberapa tahun lalu. “Kalau nomor kamu masih ada,” kata saya meyakinkan, “tentu kamu adalah orang pertama yang harus saya hubungi.”

***

Beberapa hari kemudian, saya mengunjungi kediamannya di daerah Lembang, Bandung. Dalam suasana sejuk nan asri di kota itu, kami merasa leluasa berbincang banyak tentang mendiang sastrawan. Saat itu, kami pun banyak bercakap-cakap perihal kematian, serta apa yang terjadi di negeri akhirat setelah seseorang meninggal dunia. Bagi kami, dari beragam literatur yang telah kami pelajari, baik sastra, filsafat maupun agama, akan selalu mengandung teka-teki perihal kematian, terlebih bagi manusia yang masih hidup. Sementara, bagi sang sastrawan yang sudah menjalani kematian, hal itu barangkali sudah bukan rahasia lagi.

“Hal terpenting adalah bagaimana manusia harus punya persiapan untuk menghadapi kematian, mengingat kematian itu, sebagaimana jodoh dan rejeki, bisa datang tanpa diduga-duga,” kata Fatia dengan tatapan berkaca-kaca.

“Tapi pada prinsipnya, kehidupan manusia itu sudah mencerminkan kematiannya.”

“Maksudmu?” pancing Fatia.

“Maksud saya, nilai-nilai kebaikan yang kita tanam dalam hidup ini, sangat identik dengan kualitas buah yang baik, yang kelak kita petik di kemudian hari.”

“Apakah kualitas buah itu akan dipetik di dunia ini, atau hanya di akhirat kelak?”

“Saya kira bisa dua-duanya, di sini juga di sana,” saya menunjuk ke atas.

“Itu artinya, apakah kehidupan dunia ini hanya tempat bercocok-tanam, sementara di akhirat adalah saat-saat memanen dari tanaman kebaikan kita?”

“Saya kira, memanen kebaikan itu bisa di sini dan bisa juga di sana.”

Kami terdiam dalam waktu yang cukup lama. Kemudian, pancing Fatia dengan penuh diplomatis, “Bagaimana kamu bisa menikmati hasil yang banyak, kalau kebaikan itu kamu tanam sendirian?”

“Jadi, bagaimana kalau kita tanam bersama-sama?” kata saya mantap.

Fatia menyambut pertanyaan saya dengan tersenyum gembira. Tak berapa lama, ia pun masuk ke dalam kamar, mengambil sebuah novel lalu menyodorkannya ke hadapan saya. “Apakah kamu sudah baca yang ini?” tanyanya kemudian.

Ia pun menunjukkan cover novel tersebut. Ya, itulah novel terakhir yang ditulis mendiang sastrawan, berjudul Sesuatu yang Membuat Mereka Bersatu. Saya pernah membaca resensi dan ulasannya di beberapa media luring maupun daring. Bagi saya dan Fatia, karyanya yang terakhir itu adalah masterpiece (maha karya), seakan-akan membicarakan hubungan kami selama ini, termasuk hubungan Fatia dengan mantan suaminya selaku politikus, juga perihal mantan mertuanya yang mendekam di penjara karena kasus suap dan korupsi.

Novel itu bahkan secara mendetil membicarakan percakapan saya dan Fatia perihal hakikat kematian yang serba misterius, serta nilai-nilai kebaikan yang harus ditanam bersama-sama, hingga kemudian sanggup memanen buah kebaikan itu di kemudian hari. (*)

 

Hafis Azhari, prosais yang juga menukis esei. Kini berkhidmat di suatu pesantren di Lebak, Banten. Novelnya adalah Pikiran Orang  Indonesia  dan yang terbaru berjudul Jenderal Tua dan Kucing Belang.

 

 

Related posts

Leave a Comment

18 − four =